Pranggggg….
Kenapa
ini menimpa keluargaku? Apa salah keluargaku? Apa salahku? Saat orang tua
pulang, mungkin semua anak akan senang. Tapi tidak buatku. Mereka akan
melakukan hal yang selalu mereka lakukan saat mereka bertemu. Bertengkar,
bertengkar dan terus bertengkar.
Tidakkah
mereka memikirkan perasaanku? Bagaimana perasaan seorang anak yang selalu
melihat orang tuanya bertengkar dengan mengorbankan sesuatu yang ada disekitar
mereka? Tidakkah mereka mengerti?
Mereka
selalu bilang bahwa mereka tetap bersatu meski jurang pemisah memisahkan mereka
karena aku. Aku, anak mereka satu-satunya. Tapi kenapa mereka tidak bisa
berhenti untuk sehari saja? Kumohon, berhentilah!
Kumendengar
mereka berdua berteriak mempertahankan apa yang menurut mereka benar. Tidak ada
yang mau mengalah. Mereka hanya akan berhenti saat aku keluar kamar. Mereka akan
menghampiriku, memelukku, mencium puncak kepalaku dan mengucapkan selamat
malam. Bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi. Aku senang jika mereka menunjukan
kasih sayang mereka itu tanpa ada sorot mata dan wajah penuh kebohongan. Lebih
baik aku pergi saja dari sini, aku yakin mereka tidak akan menyadari karena
mereka lebih sibuk dengan rutinitas yang menurutku menyebalkan itu. Aku pergi!
“Aku
sudah bosan dan capek dengan semua ocehan kalian!” untuk kesekian kalinya air
mata kembali menetes. “Selamat tinggal ayah dan bunda. Kalian tidak akan pernah
melihatku kembali,” ucapku lirih.
Aku
bersyukur kamarku ada dilantai bawah sehingga aku tak perlu memikirkan banyak
cara untuk kabur lewat jendela. Hanya tinggal membuka jendela dan pergi. Itu
saja. Baru kusadari bahwa kabur dari rumah bukanlah hal yang harus membuatku
memeras otak.
Aku
merogoh saku celanaku mencari benda itu. Ah, ketemu. Saat ini handphone adalah
benda yang paling berguna, “Sekarang kemana ya?” kupukulkan handphone itu pelan
di daguku. Aku tersenyum, “Mungkin Ratu bisa membantuku.”
Tak
kusangka dia akan menerimaku dengan mudah dirumahnya. Tanpa mengatakan satu pertanyaanpun.
Dia membuka pintu, menyuruhku masuk dan mengantarku ke kamar tamu. Semua ia
lakukan tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibir merah alaminya. “Kau aneh.
Tidak biasanya kau diam seperti ini,” ucapku spontan. Hanya dengungan yang
kudengar sebagai jawabannya.
“Ratu?”
aku bertanya sekali lagi.
Dia
menghela nafas dan mulai membuka mulutnya untuk berbicara, “Vira, meskipun kau
saudara sepupuku, bukan berarti kau bisa menelfonku tengah malam dan berharap
aku menyambutmu dengan senyum lebar! Ini tengah malam Vira!”
“Maaf
kakak sepupuku yang baik dan cerewet,” dia melotot saat aku mengucapkan itu.
“Aku bosan dirumah,” aku menekankan kata bosan saat aku mengucapkannya. Dia
pasti mengerti, dia tidak sebodoh itu.
“Terserah.
Sekarang aku mau tidur. Besok ada kuliah pagi. Menyebalkan,” dia menutup pintu
dan kudengar langkah kakinya menjauh.
Aku
membanting tubuhku diatas tempat tidur. Memosisikan tubuhku dengan nyaman dan
bersiap untuk tidur. “Mereka tidak akan mencariku,” dan akupun terlelap.
Sebuah
suara yang memekakan telinga membuatku terjatuh dari tempat tidur. Aku mengelus
pantatku yang malang. “Vira!” suara itu terdengar lagi.
Aku
bangkit, “Apa?” Suaraku tak kalah kerasnya.
“Makanan
ada diatas meja! Aku mau berangkat! Kunci pintunya!” teriaknya.
“Ratu,
bisakah kau tidak berteriak? Ini masih jam enam pagi!” lama-lama orang ini
menyebalkan juga.
“Jangan
pernah mengatakan aku menyebalkan!” aku tertegun. Bagaimana dia bisa tahu? “Dan
sekarang kau pasti bingung darimana aku tahu!”
Aku
kaget, dia bisa menebaknya. “Apakah kau sedang mempelajari ilmu membaca
fikiran?” tanyaku sambil masih berteriak.
“Jangan
konyol! Sekarang bisakah kau turun dan menghentikan acara berteriak pagi-pagi
ini?” Aku sebal, “Bukankah kau yang memulai?”
“Cepat
turun!” teriaknya lagi.
“Sekarang
berangkatlah, aku sudah turun. Terima kasih makanannya,” ucapku dengan senyum
lebar.
“Aku
tidak percaya aku diusir dari rumahku sendiri,” ucapnya sambil berpura-pura
mengusap air mata. Beginilah jika ia sedang ‘kumat’.
Aku
mendorongnya keluar, “Semoga harimu menyenangkan!”
Ratu
adalah sepupuku. Kau tahu itu. Ia juga anak tunggal, sama sepertiku. Papanya
adalah seorang pengusaha tekstil sukses dan Mamanya adalah pemilik butik
terkenal. Rumah yang sekarang aku pijaki adalah rumah mereka dulu. Tidak
terlalu besar dan sederhana. Mereka pindah ke rumah yang lebih besar. Tapi Ratu
tidak mau ikut. Ia lebih nyaman disini. Biasanya, setiap akhir pekan orang
tuanya datang kemari dan menginap.
“Terakhir
aku kesini, rumah ini sangat rapi. Tidak seperti sekarang,” aku termenung.
”Mungkin rumah ini butuh sedikit sentuhan.”
“Selesai.
Jauh lebih baik,” aku tersenyum puas. “Waktunya makan!”
Saat
aku beranjak ke dapur, aku melewati ruang tengah. Ada sebuah foto yang
menggangguku. Foto Ratu dan orang tuanya. Mereka terlihat bahagia. Sangat
bahagia. Tidak seperti keluargaku.
“Ah,
sial!” kuusap air mata yang mengalir tiba-tiba. “Kapan keluargaku bisa seperti
keluargamu?”
Kruyuk…
kruyuk… kruyuk
Ah,
benar! Makan. Kutengok jam dinding, “Jam dua belas? Pantas perutku berbunyi
minta diisi. "Perutku yang malang,” ucapku sambil mengelus perut.
Setelah
mandi sore, aku tertarik untuk membaca majalah yang ada diruang tamu. Majalah
fashion! Favoritku! Tapi gaduh-gaduh diluar menggangguku. “Mungkin Ratu,”
pikirku.“Masuk aja, gak dikunci!”
“Ayo
masuk Git,” sepertinya Ratu tidak sendiri. Aku bereskan majalah yang berserakan
karena ulahku. Bagaimanapun aku tamu disini. Ratu membawa teman perempuan yang
menurutku sangat cantik. Surai hitam panjangnya, mata coklatnya dan kulit
putihnya. Dia cantik sekali!
“Vira,
kenalin ini temanku, Gita. Gita, ini sepupuku, Vira,” ucap Ratu memperkenalkan.
“Senang
berkenalan denganmu,” ujar Gita lembut.
Aku
tersenyum, “Aku juga.”
Ratu
menepuk pundakku dan Gita, “Aku mau buat minum dulu. Kalian ngobrol dulu ya.
Bentar kok, gak lama.” Aku menggeleng, “Biar aku aja. Kamu kan capek baru pulang.”
“Kamu
kan tamu disini. Gak enak dong kalau kamu yang buat minum. Udah tunggu disini,”
Ratu menekan kedua pundakku hingga aku terduduk.
“Aku
semalam kesini. Kok kamu gak ada? Baru datang tadi pagi ya?” tanya Gita membuka
percakapan.
“Enggak.
Aku datang tengah malam. Hehehe,” ujarku sambil menggaruk kepalaku yang tidak
gatal.
Gita
kaget, “Tengah malam? Kok bisa?”
“Kabur
dari rumah,” ucapku pendek. Kulihat Gita lebih kaget lagi. Sikap lemah lembut
dan tenang yang ia tunjukkan tadi hilang seketika. Aku tertawa dalam hati.
“Kenapa?”
suaranya meninggi. Sadetik kemudia ia sadar, “Maaf. Kau mau menceritakannya?”
Cukup
lama aku terdiam sambil berfikir. Bagaimanapun juga dia orang asing. Tak ada
satupun orang yang menceritakan aibnya kepada orang yang tidak dikenal. Tapi
aku butuh solusi. Mungkin saja yang kulakukan ini salah. Kabur, maksudku.
“Uhm,
gimana harus memulainya ya? Aku bingung. Intinya mereka selalu bertengkar saat
mereka bertemu, mengorbankan benda-benda dirumah untuk mendukung kegiatan mereka
itu,” aku berhenti untuk menarik nafas. “Bersikap tak ada apapun yang terjadi
saat mereka melihatku. Mereka menyebalkan,” jelasku sambil mengerucutkan bibir
dan melipat kedua tanganku didada.
Kulihat
Gita hanya tersenyum lembut sambil mengunyah kue kering dimulutnya. Anak ini
menyebalkan juga. Yang menyuruhku cerita
tadi siapa?
“Ah,
maaf. Bukan maksudku membuatmu kesal,” ucap Gita saat melihat wajah kesalku.
“Kalau mereka bertengkar, kenapa mereka tetap bersatu? Bercerai maksudku.”
“Aku
pernah mendengar salah satu dari mereka mengatakan itu karena mereka sayang
kepadaku. Mereka bohong!”
“Maaf
sebelumnya, bagaimana jika orang tuamu bercerai?” tanyanya.
“Lebih
baik begitu daripada mereka terus bertengkar,” ucapku sarkastik.
“Itu
pilihanmu. Pikirkan lagi, orang tuamu sayang kepadamu,” ucapnya sambil
tersenyum simpul.
“Tapi
mereka-”
“Minuman
datang! Maaf menunggu lama!” ucap Ratu tiba-tiba. Padahal seharusnya kami tahu
saat Ratu datang. Mungkin kita terlalu serius. Ratu menyebalkan. Aku belum
selesai bicara tadi.
“Terima
kasih Ratu aku boleh main kesini. Aku pulang dulu ya!” ujar Gita setelah
menghabiskan minuman digelasnya.
“Ah,
tak perlu sungkan. Terima kasih Gita,” ucap Ratu sambil mengedipkan sebelah
matanya. Ada yang aneh disini.
“Sama-sama.”
Gita pulang dengan mobil merah yang terparkir di depan rumah.
“Kamu
sengaja ya bawa temanmu itu kesini?” ucapku penuh selidik.
“Enggak
kok. Kebetulan tadi hujan di kampus, ku nebeng dia.”
Aku
berdiri dari sofa, “Gak usah bohong dia tadi bilang kalau dia main.” Aku
langsung pergi ke kamar tamu. Tapi saat melewati ruang tengah, aku melihat foto
itu lagi. Tanpa sadar aku menghampirinya dan air mataku mengalir lagi.
Aku
terkejut saat seseorang menyentuh pundakku, “Aku tahu yang kamu rasakan. Kamu
harus kuat ya.” Ternyata Ratu. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa marah. Aku
menepis tangannya dipundakku, “Kamu gak pernah ngerasain jadi aku. Gak usah sok
tahu!”
Dia
tersenyum tapi air mata mengalir dari kedua sudut matanya, “Sebenarnya orang
tuaku sudah bercerai. Tak lama setelah mereka pindah dari sini.”
Aku
tertegun, itu gak mungkin. Keluarga Ratu adalah salah satu keluarga paling
bahagia yang pernah aku tahu. Tak mungkin momok itu mengganggu keluarganya.
Aku tak percaya. “Ratu, kamu tak perlu berbohong supaya bisa menasehatiku,”
ucapku ragu.
“Kamu
bilang aku bohong?!” suara Ratu meninggi. “Kamu kira aku mau orang tuaku
bercerai? Aku tetap berusaha kuat didepan mereka. Tapi aku juga seorang anak biasa.
Aku tidak bisa terus berpura-pura biasa saja. Broken home Vira, broken home!”
“Tolong
aku. Ajari aku supaya bisa kuat kayak kamu,” ucapku frustasi.
Dia
mengelus puncak kepalaku dan dia tersenyum saat aku menepisnya. Dia seharusnya
tahu aku paling benci hal itu. Hanya orang tuaku yang boleh melakukannya!
“Gampang,
cukup kamu mengerti mereka. Kamu akan kuat dengan sendirinya”
“Baiklah,
aku akan mencobanya. Besok aku akan pulang,” ucapku sambil menunduk.
Dia
mengangkat kepalaku, “Tak perlu.” Dia tersenyum misterius lalu dia bergeser
satu langkah ke kanan.
Aku
melihat orang tuaku! Mereka disana! Di depan pintu! Aku berlari kearah mereka
sambil membuka tanganku lebar-lebar. Aku rindu mereka.
“Maafin
Vira. Vira nakal!” air mataku mengalir deras.
Sekarang
kehidupan seorang Vira tidak sama lagi. Aku memutuskan tinggal bersama Ratu.
Aku senang saat orang tua kami datang mengunjungi kami dan menginap. Seperti
menjadi keluarga yang utuh. Meskipun mereka sudah bercerai, aku tak menyesal
keputusan mereka. Aku bahagia, mereka bahagia.
TAMAT