twitter


Ibarat kerikil kecil yang ada di tengah jalan. Kalian berdua melewatinya dan tak sengaja kakimu tersandung olehnya.
Sejenak kau menatap kerikil itu dengan pandangan benci. Kau memungutnya dan mulai memperhatikannya. Tanpa sadar pandanganmu hanya tertuju padanya.
Dia yang tanpa sadar tetap berjalan mulai sadar bahwa tak ada sosokmu disebelahnya. Dia menoleh dan mendapatimu memusatkan perhatian pada kerikil itu. Dia kesal. Dia berbalik dan menarikmu. Kesadaranmu sepenuhnya kembali. Kau kembali berjalan dan membuang kerikil yang sudah kau genggam. Karenamu, kerikil itu tidak lagi berada di tempatnya.


You. Yes, You!

You gave me a lot of clues
But none I knew
You just said something
That made me thinking

I don't know about your feeling
I don't know about anything
I'm always dreaming
You have the same feeling

Can you give a clue?
This clue shows about you
About anything
About everything

I will let you go
If you say no
I will always love you
If you say I do


Buai mimpi masih disisi. Meski mentari sudah disinggasana tertinggi. Tak ada salahnya membiarkan ini terus terjadi. Terus menutup mata akan semua hal yang nyata. Meski kau nyata, aku akan setia tuk menutup netra. Nyatamu membawa duka dan luka. Nyatamu hanya memberi sebuah harapan tanpa perwujudan. Jadi, bagaimana jika kita membuat sebuah kesepakatan? Kesepakatan yang hanya memberiku kekuatan. Maukah kau mengisi anganku tanpa menjadi sosok yang semu di nyataku?




Kau menemani diri yang tengah rapuh. Seorang insan yang berharap sayap malaikat melingkupinya. Candu sosokmu tak terelak lagi. Hatiku kosong dan kau hadir tuk memberi arti. Namun kau hanyalah bayang semu, begitu pula laku dan lengkung bibirmu. Perhatian semu pun tak luput tampak darimu. Apa tujuanmu? Apakah membiarkan diri lara termasuk dalam skala prioritasmu? Jangan menyeretku lebih dalam lagi. Karena kau masih semu, sekalipun untuk insan rapuh sepertiku.


            “Bunda jahat! Kenapa Bunda tidak bisa mengerti aku? Aku tidak mau!”
            Aku masih ingat betul saat aku mengucapkan kalimat itu ke Bunda. Aku tahu aku kelewatan. Aku tahu aku telah menyakiti hati Bunda. Tapi aku memang tidak bisa melakukan perintah bunda yang satu ini. Aku tidak mau, aku tidak bisa.
             Aku sebenarnya tidak sengaja. Bunda adalah satu-satunya orangtua yang aku punya. Ayah sudah meninggal saat aku masih kecil. Bahkan, saat aku mencoba mengingat-ingat rupa Ayah, hanya wajah Bunda yang terlintas di benakku. Bunda sudah menjadi sosok orangtua yang lengkap untukku. Meski tanpa Ayah.
            Aku bimbang. Disatu sisi, aku ingin membahagiakan Bunda. Tetapi disisi lain, permintaan Bunda yang satu ini terlalu berat untukku. Maaf Bunda, aku tidak sanggup.
Aku mendengar Bunda menangis di kamarnya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku marah, kecewa, tetapi aku sangat ingin membahagiakan Bunda. Aku menghela nafas berat. Baiklah, akan kulakukan semua untuk Bunda.
           Kriet, pintu terbuka. Bunda menoleh dan terkejut melihatku. Bunda memalingkan wajahnya lalu menghapus liquid bening dari sudut matanya. Tidak ada seorang anakpun yang bisa melihat orangtuanya menangis. Apalagi menangis karena kita, anaknya. Aku marah pada diriku sendiri. Aku melanggar pesan terakhir Ayah. Ayah berpesan tidak pernah membuat Bunda menangis. Aku masih ingat itu dan sekarang aku melanggarnya karena keegoisanku.
          “Bunda, maafkan aku,” aku bersujud dihadapan Bunda. Air mata mengucur deras dari sudut mataku.
          Bunda tampak bingung melihatku. Aku merasakan kasih sayang yang sangat besar saat belaian Bunda berada di puncak kepalaku. Aku terpejam. Aku tidak akan pernah meragukan lagi cinta Bunda untukku.
          “Aku akan melakukan yang Bunda inginkan. Dengan sepenuh hatiku,” dan kulihat Bunda tersenyum kepadaku.
           Sejak saat itu aku membuang jauh-jauh impianku menjadi dokter. Aku tahu ekonomi keluarga kami tidak akan sanggup untuk membiayai kuliahku nanti. Guru, itu yang Bunda inginkan. Meski ada rasa tidak rela, aku yakin Bunda tahu yang terbaik untukku.
          Aku jengkel jika ada anak yang tidak serius menggapai cita-citanya. Apalagi dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Kenapa mereka tidak memaksimalkan apa yang telah mereka miliki? Aku harus membuang impianku menjadi dokter hanya karena biaya.
         Aku mulai lagi. Aku sudah mencoba menanamkan dalam hati bahwa aku sudah menerima keputusanku ini. Tapi masih sulit rasanya.
         Bunda lebih banyak meluangkan waktunya untukku. Tentu saja aku bahagia. Aku rela menukar apapun untuk meluangkan waktu lebih banyak dengan Bunda termasuk cita-citaku. Kuharap aku bisa menjalani ini dengan tulus.
        “Semoga apa yang telah kau korbankan akan mendapat ganti yang lebih.”
        Sayup-sayup kudengar doa Bunda. Doa Bunda untukku. Liquid bening itu jatuh lagi tanpa kusadari. Doa Bunda adalah kekuatanku untuk tetap melangkah. Bunda, aku mencintaimu.
       “Nia, apa cita-citamu?” Bu Rara sudah berada di depanku tanpa kusadari. Aku melamun.
       “Ah, cita-cita saya menjadi dok-, ah maksud saya guru,” aku menelan ludah saat Bu Rara mengerutkan keningnya.
       “Kenapa Nia? Apakah kamu bercita-cita menjadi dokter?” aku terpojok. Terpaksa aku harus bercerita.
       “Awalnya,” kulihat kerutan didahi Bu Rara semakin dalam. Aku menghela nafas, “Bunda tidak mengizinkan. Tak ada biaya untuk kuliah kedokteran nantinya. Lagipula, sesuatu yang tidak mendapat restu orangtua bukankah akan berakhir buruk?”
       Bu Rara tersenyum, “Nia benar. Tapi alangkah lebih baik lagi jika Nia melakukan itu dengan hati yang ikhlas.”
       Aku pun ikut tersenyum, ”Terima kasih Bu.”
       Aku merasakan teman-temanku berbicara buruk tentangku. Miskin. Itu kata-kata yang sering kudengar. Memang, Bunda menyekolahkanku di sekolah mahal. Awalnya aku enggan, tetapi Bunda mengatakan ingin memberikan yang terbaik untukku. Aku bungkam, Bunda pasti berusaha sangat keras untukku. Aku hanya bisa memberikan beasiswa yang aku dapat untuk Bunda. Alhamdulillah, aku bisa sedikit meringankan beban Bunda.
       Aku tak peduli apa yang orang lain bicarakan tentangku. Selama aku masih punya Bunda, aku yakin aku akan tetap berdiri tegak meski angin topan menerjangku. Bunda segalanya untukku.
       Pagi itu aku mendapat berita besar. “Nia, bisa ikut Ibu sebentar?” aku mendongak saat mendengar seseorang berbicara menyebut namaku. Ternyata Bu Rara.
       “Baik Bu,” aku beranjak mengikuti Bu Rara. Ternyata Bu Rara mengajakku ke ruang kepala sekolah. Keringat dingin mulai mengucur dari dahiku. Untuk apa Bu Rara membawaku ke ruang kepala sekolah? Apa beasiswaku akan dicabut? Aku sangat gugup. Apa salahku?
       “Nia,” suara Bu Rara mengagetkanku, “Kepala sekolah ingin bertemu denganmu. Nia duduk disini dulu. Sebentar lagi kepala sekolah akan datang. Bu Rara keluar dulu.”
       Aku hanya bisa mengangguk. Pikiranku kosong. Aku takut. Kudengar  langkah kaki mulai mendekat. Aku menghembuskan nafas untuk mengurangi rasa takutku. Beasiswaku tak akan dicabut. Kata-kata itu kutanamkan dalam otakku.
      “Nia. Saya punya sesuatu untukmu,” kulihat Pak Agus, kepala sekolahku menyerahkan sebuah amplop kepadaku, “Sekarang kau boleh pulang. Serahkan amplop itu ke bundamu.”
      “Terima kasih Pak. Saya mohon undur diri,” Pak Agus hanya mengangguk.
      Perjalanan pulang terasa sangat lama. Padahal sekolah hanya beberapa ratus meter dari rumah. Kuharap bukan berita buruk. Kuharap, kuharap,kuharap. Saat ini aku hanya bisa berharap.
      Tanganku gemetar saat aku menyerahkan amplop itu ke Bunda. “Apa ini?” kening Bunda berkerut. Aku hanya bisa mengangkat pundak. Aku memang tak tahu isi amplop itu. Kudengar suara kertas disobek. Aku memejamkan mataku. Tak berani membuka mataku barang satu inci pun. Doa senantiasa kupanjatkan saat kudengar Bunda mulai menangis.
      Aku membuat Bunda menangis lagi. Aku mengecewakan Bunda. Kalimat itu mulai memenuhi memori otakku. Aku gagal. Aku gagal.
      Kurasakan ada sesuatu yang menabrakku. Aku membuka mataku perlahan. Ternyata Bunda.               “Kamu membuat Bunda bangga,” isak tangis terdengar jelas disela-sela gumaman Bunda.
      “Bangga? Aku membuat Bunda kecewa!” aku tak bisa mengontrol suaraku. Aku membentak Bunda!
       “Ma-maaf. Aku tidak bermaksud membentak Bunda,” dan isak tangisku mulai terdengar.
       Bunda tersenyum, “Kamu membuat Bunda bangga, Nia. Baca ini,” Bunda menyerahkan secarik kertas kepadaku.
Tertanda dibawah ini :
Nama              :Nia Annisa
Sekolah            : SMA Pancasila
Mendapat beasiswa penuh di Universitas Garuda Fakultas Kedokteran hingga S1
        Aku tak percaya dengan penglihatanku sendiri. Derai air mata semakin deras mengalir saat aku bersujud mengucap syukur. Bunda memelukku sangat erat. Allah memberi kenikmatan yang tak terkira untukku. Allah telah memberikan yang terbaik untukku. Terima kasih Allah. Terima kasih Bunda.
     “Allah sudah memberikan nikmat untukmu. Jangan sia-siakan kesempatan yang telah Allah berikan kepadamu. Bunda sangat bangga padamu,” kata Bunda.
     “Nia akan berusaha melakukan yang terbaik. Terima kasih atas doa Bunda selama ini,” aku mencium tangan Bunda. Tangan seorang wanita paling hebat di dunia. Seseorang yang membuatku tetap berdiri meski halangan terbesar menghadangku. Terima kasih banyak Bunda. Engkau segalanya untukku.
       Sekarang, aku berdiri dihadapan banyak orang. Menceritakan tentang hidupku, “Bagi saya, Bunda adalah segalanya. Selalu menuruti permintaannya meski itu berat untuk kita.. Meski kita terpaksa membuang impian terbesar kita. Cita-cita kita. Karena Allah akan menunjukkan jalan yang benar saat kita telah salah melangkah.”
        Kulihat semua orang berdiri sambil bertepuk tangan. Aku telah menjadi seorang dokter yang sukses. Dapat menginspirasi orang lain adalah impianku dan itu semua berkat Bunda.
        Bunda telah berada di surga. Menjaga dan mengawasiku dari atas sana. Aku tak akan pernah lupa kepadamu Bunda. Engkau telah membuatku menjadi seseorang yang berguna. Engkau menginspirasiku. Sekali lagi, terima kasih Bunda.

TAMAT


“Universitas X”
           Tak pernah terlintas difikiranku bahwa Bapak akan mengucapkan kata itu. Aku marah. Sangat marah. Tapi Bapak seolah tak mengerti apa yang kurasakan.
        Satu kata itu seolah menusuk ulu hatiku dan menghempaskanku dari langit ketujuh. Aku selalu mengikuti apa yang Bapak kehendaki, tetapi …… ah, aku tak suka mengungkit masalah ini.
         “Di kantor Bapak, ada anak-anak baru. Kebanyakan lulusan Jurusan Informatika. Ambil jurusan itu saja,” ucap Bapak mantap. Jarum jam berhenti berdetak, aku hanya terdiam, tertegun. Allah cobaan apa ini?
         Bapak mengucapkan itu dengan wajah berseri-seri. Seperti seorang Ayah yang melihat anaknya sukses dengan menempuh petunjuknya. Bagaimana bisa seorang anak yang merepotkan sepertiku menghancurkan angan itu hingga berkeping-keping? Maaf saja, aku tak sejahat itu.
           “Kamu kenapa Na?” ucap Ida terkejut. Aku juga terkejut saat sebuah liquid bening menempel di layar telefon genggamku. Oh ayolah, ini bukan saat yang tepat.
         “Tak apa, hanya mengantuk saja. Sekarang jam kosong ya?” ucapku sambil tersenyum. Tetapi ia kelihatan masih ragu.
           “Mungkin iya.” Dia menjawab dengan raut wajah aneh. Sepertinya aku bukan aktris yang ulung.
       “Hei! Ada guru!” teriak salah satu temanku. Sepertinya masa berduka harus ditunda dulu. Aku menghela nafas berat saat kulepaskan genggaman pada telefon genggamku. Di layarnya tertera jelas lambang itu dan kemudian perlahan menghitam dan padam.
           Aku benci melihat diriku sendiri menangis hingga mataku membengkak. Semua orang akan tahu kalau aku sehabis menangis. Apa yang harus kulakukan? Aku tak mau begini hingga akhir nanti. Aku harus mengakhiri ini meski aku tak berniat secuil pun untuk melukai perasaan Bapak.
        Kutersenyum lebar melihat spanduk didepanku. Aku, si anak merepotkan ini sudah menjadi seorang mahasiswi baru. Kulangkahkan kakiku dengan penuh percaya diri dan tatapan yakin bahwa memang disinilah seharusnya aku berada. Tak bisa kulupakan raut wajah kecewa Bapak, tapi akan kubuktikan aku bisa menjadi seseorang yang sesungguhnya dengan caraku.
         “Halo Na, kita ketemu lagi disini,” ujar seseorang mengagetkanku.
        Aku memutar kepalaku dan tersenyum lebar kemudian. Ah, ternyata dia. Teman sekelasku dari rok biru hingga abu-abu, Kepet. Tunggu dulu itu bukan nama pemberian orang tuanya, tetapi itu pemberian kami, teman-temannya dimasa putih biru.
            “Aku bilang juga apa, kita nanti bakalan satu jurusan!” ucapku pura-pura ketus sambil melipat kedua tanganku didepan dada.
            Ia hanya tersenyum tipis, “Selamat ya kamu dapat jalur undangan”.
            Aku hanya menatapnya bosan. Ternyata merendah memang ada dalam kamus hidupnya. “Tak usah seperti itu, justru nilaimu lebih tinggi dariku dan kau masih ingatkan kalau kau juga dapat jalur undangan sepertiku. Jangan mengejekku!” ucapku meski aku tahu tak pernah ada niatan jelek itu dalam hatinya. Si Kepet ini hanya tersenyum lagi seolah dia tahu aku hanya bercanda.
         Tak ada yang aneh saat aku selalu melangkah sendiri. Dulu aku sudah merasakan yang lebih dari ini hingga kini aku tak gusar lagi. Tapi teman-temanku seperti berkata lain. Ada yang salah dengan tindakanku. Tatapan aneh mereka saat melihatku. Aku masih peka tentang hal ini. Tetapi sepertinya mereka benar, aku aneh. Mungkin karena aku lebih memeilih tersesat di Universitas yang sangat besar ini daripada harus bertanya pada orang lain. Tak wajar kan?
       Aku tak percaya sifat pendiam bahkan anti sosialku ini malah membuatku memiliki banyak teman. Mereka bilang mereka penasaran saat melihatku yang begitu misterius. Sering aku tiba-tiba tertawa saat mengingat ini. Hingga kemudian aku dihadiahi tatapan penuh tanya orang-orang sekitar tentang kewarasanku.
        Jasmine, salah satu orang yang penasaran denganku dan sering mengumpat dalam hati saat melihat diriku yang sebenarnya. Hahaha, aku benar-benar misterius kan? Wajah cantiknya tak terhalang meski ia memakai jilbab yang terkadang ia pakai dengan asal-asalan. Sifat ramah dan supelnya mampu menyihir semua orang mendekatinya dan menaruh harapan untuk mengisi hari-harinya. Kau ini popular tau!
          “Kau mau pulang?” ucapnya setelah kami melakukan tes dadakan.
          “Tentu. Aku capek. Aku mau menikmati masakan ibuku tercinta,” jawabku sambil tersenyum lebar.
         Sorot mata iri menghiasi mata indahnya, “Ah, enak sekalinya. Sedangkan ibu kosku hanya memasak untuk sarapan, sisanya aku beli sendiri di warung sekitar.”
         Muncul rasa iba dalam diriku. Kelihatannya jauh dari rumah itu susah ya. Sebuah ide cemerlang mengisi otak kecilku, “Kau mau pulang bersamaku? Kebetulan aku bawa sepeda hari ini.”
          “Bolehkah?” aku melihat matanya berbinar-binar.
         “Tentu, kenapa tidak? Akan kukenalkan kau kepada pahlawan-pahlawanku.” Kemudian hal itu seolah menjadi kebiasaannya.
           Di perjalanan, ia tiba-tiba mendengus kasar, “Kau ini benar-benar penipu. Kau tak seperti dugaanku. Malahan sifat cerewetmu ini membuatku kewalahan. Tuhan, bagaimana hambamu ini bisa bersahabat dengan penipu ulung seperti dia? Apa salah dan dosa hamba Tuhan?”
            “Hei, aku bukan penipu!” protesku.
            “Tuhan…..” dan ia mulai meracau lagi.
      Kehidupan seorang mahasiswi sudah mulai kujajaki. Ternyata cukup berat juga ya. Tapi aku menempelkan memo di hati dan ingatanku bahwa pilihanku ini tak akan salah. Menjadi seorang guru matematika bukan hal yang buruk kan?
Semester demi semester tak terasa sudah berlalu. Sidang skripsi yang menghantui akhir-akhir ini sudah kulalui tanpa ada masalah yang berarti. Sidang berlangsung lancar seperti perkiraanku dan aku diwisuda beberapa bulan kemudian. Aku seorang sarjana sekarang.
          Aku masih tak percaya dengan apa yang ada dihadapanku. Anak-anak berbagai umur berpakaian putih merah yang menutupi tubuh mungil mereka. Tangan mungil itu bergerak perlahan sebagai kipas sederhana untuk mengurangi suhu tubuh mereka. Sepertinya aku harus cepat. Meski aku sering terbata-bata saat melantunkan kata demi kata yang sudah kupersiapkan. Kulihat teman-temanku hanya tersenyum geli dengan tatapan mengejek. Dan pastinya Jasmine adalah salah satu tersangkanya. Kalian akan mendapatkan ganjaran. Kalian telah membuatku berdiri disini dan kalian menyebalkan!
         Disinilah kami, di sebuah sekolah dasar sederhana yang nantinya akan menjadi tempat latihan mengajar kami. Sebuah sekolah dasar yang sangat berbeda saat terakhir kali aku melihatnya. Ruang perpustakaan yang lebih besar, kursi panjang telah hilang dan warna cat yang berganti biru tenang. Tentu saja aku mengetahui hingga sedetail itu, karena aku pernah menghabiskan masa kecilku selama enam tahun disini. Aku kembali sebagai seorang pengajar. Sebuah kenyataan kecil yang membuat bibirku terus tersungging.
           “Ibu, kenapa ini susah sekali? Kalau pakai kalkulator kan enak lebih mudah dan cepat.”
           “Aku menyerah! Ini sangat sulit. Kenapa harus ada pelajaran ini sih?”
           “Ibu! Kenapa ada angka lima disitu? Padahal kan dua dikali dua itu empat?”
           Aku tersenyum melihat respon beragam dari mereka. Matematika seolah masih menjadi momok bagi anak-anak lucu ini. Kehadiranku disini akan mengubah pandangan mereka tentang pelajaran favoritku ini. Aku yakin itu!
          Masa depan masih membentang luas dihadapanku. Terkadang aku teringat saat aku membuat air mata Bapak mengalir. Tapi aku rasa aku sudah sedikit mengobati luka hati itu. Aku mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar dekat rumahku. Upahnya cukuplah untuk kebutuhanku dan biaya sekolah adik-adikku.
        Tetapi, sepertinya panggilan jiwaku bukan ditempat itu. Ingin rasanya kembali saat aku latihan mengajar di sekolah dasar. Berhadapan dengan anak-anak lucu nan imut dengan tingkah polos dan jujur mereka mengenai matematika. Ah, rindu rasanya. Tapi saat ini sudah cukup untukku. Yang terpenting adalah mengubah pandangan Bapak tentang pilihanku.
~~~~~
“Bapak, a-aku ingin berbicara sesuatu,” ucapku gugup.
          Bapak menutup buku yang sedang dibacanya. Kedua alisnya bertaut merespon ucapanku. “Ada apa?” tanya beliau heran.
            “Soal permintaan Bapak, maaf aku tak bisa melaksanakannya.” Ujung bajuku terlihat kusut setelah aku meremasnya.
            “Permintaan? Permintaan apa?”
           “Permintaan bapak yang-yang menyuruhku masuk Universitas X,” jawabku lirih sambil menundukkan kepalaku dalam-dalam.
           “Kenapa?” ucapan tajam dan tatapannya seolah menghakimiku. Aku mulai ketakutan. Air mata sudah menggenang dipelupuk mata.
           “Aku ingin menjadi seorang guru. Lagipula teknologi bukan bakatku. Aku nol besar di bidang itu. Aku tak mau menjadi seseorang yang menyesal nantinya.”
       “Gaji anak-anak baru di kantor Bapak bahkan melebihi Bapak. Bapak ingin kau membantu perekonomian keluarga ini. Itu tugasmu sebagai anak pertama,” ucap Bapak lirih namun tajam.
            “Kumohon Pak, biarkan aku menetukan masa depanku. Aku tak mau salah langkah.”
            Dan kemudian Bapak meninggalkanku dengan air mata yang menetes. Untuk pertama kalinya, aku menolak permintaan Bapak.

TAMAT


Pranggggg….
         Kenapa ini menimpa keluargaku? Apa salah keluargaku? Apa salahku? Saat orang tua pulang, mungkin semua anak akan senang. Tapi tidak buatku. Mereka akan melakukan hal yang selalu mereka lakukan saat mereka bertemu. Bertengkar, bertengkar dan terus bertengkar.
            Tidakkah mereka memikirkan perasaanku? Bagaimana perasaan seorang anak yang selalu melihat orang tuanya bertengkar dengan mengorbankan sesuatu yang ada disekitar mereka? Tidakkah mereka mengerti?
            Mereka selalu bilang bahwa mereka tetap bersatu meski jurang pemisah memisahkan mereka karena aku. Aku, anak mereka satu-satunya. Tapi kenapa mereka tidak bisa berhenti untuk sehari saja? Kumohon, berhentilah!
            Kumendengar mereka berdua berteriak mempertahankan apa yang menurut mereka benar. Tidak ada yang mau mengalah. Mereka hanya akan berhenti saat aku keluar kamar. Mereka akan menghampiriku, memelukku, mencium puncak kepalaku dan mengucapkan selamat malam. Bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi. Aku senang jika mereka menunjukan kasih sayang mereka itu tanpa ada sorot mata dan wajah penuh kebohongan. Lebih baik aku pergi saja dari sini, aku yakin mereka tidak akan menyadari karena mereka lebih sibuk dengan rutinitas yang menurutku menyebalkan itu. Aku pergi!
           “Aku sudah bosan dan capek dengan semua ocehan kalian!” untuk kesekian kalinya air mata kembali menetes. “Selamat tinggal ayah dan bunda. Kalian tidak akan pernah melihatku kembali,” ucapku lirih.
         Aku bersyukur kamarku ada dilantai bawah sehingga aku tak perlu memikirkan banyak cara untuk kabur lewat jendela. Hanya tinggal membuka jendela dan pergi. Itu saja. Baru kusadari bahwa kabur dari rumah bukanlah hal yang harus membuatku memeras otak.
          Aku merogoh saku celanaku mencari benda itu. Ah, ketemu. Saat ini handphone adalah benda yang paling berguna, “Sekarang kemana ya?” kupukulkan handphone itu pelan di daguku. Aku tersenyum, “Mungkin Ratu bisa membantuku.”
       Tak kusangka dia akan menerimaku dengan mudah dirumahnya. Tanpa mengatakan satu pertanyaanpun. Dia membuka pintu, menyuruhku masuk dan mengantarku ke kamar tamu. Semua ia lakukan tanpa ada sepatah katapun keluar dari bibir merah alaminya. “Kau aneh. Tidak biasanya kau diam seperti ini,” ucapku spontan. Hanya dengungan yang kudengar sebagai jawabannya.
            “Ratu?” aku bertanya sekali lagi.
        Dia menghela nafas dan mulai membuka mulutnya untuk berbicara, “Vira, meskipun kau saudara sepupuku, bukan berarti kau bisa menelfonku tengah malam dan berharap aku menyambutmu dengan senyum lebar! Ini tengah malam Vira!”
            “Maaf kakak sepupuku yang baik dan cerewet,” dia melotot saat aku mengucapkan itu. “Aku bosan dirumah,” aku menekankan kata bosan saat aku mengucapkannya. Dia pasti mengerti, dia tidak sebodoh itu.
         “Terserah. Sekarang aku mau tidur. Besok ada kuliah pagi. Menyebalkan,” dia menutup pintu dan kudengar langkah kakinya menjauh.
          Aku membanting tubuhku diatas tempat tidur. Memosisikan tubuhku dengan nyaman dan bersiap untuk tidur. “Mereka tidak akan mencariku,” dan akupun terlelap.
           Sebuah suara yang memekakan telinga membuatku terjatuh dari tempat tidur. Aku mengelus pantatku yang malang. “Vira!” suara itu terdengar lagi.
           Aku bangkit, “Apa?” Suaraku tak kalah kerasnya.
           “Makanan ada diatas meja! Aku mau berangkat! Kunci pintunya!” teriaknya.
           “Ratu, bisakah kau tidak berteriak? Ini masih jam enam pagi!” lama-lama orang ini menyebalkan juga.
         “Jangan pernah mengatakan aku menyebalkan!” aku tertegun. Bagaimana dia bisa tahu? “Dan sekarang kau pasti bingung darimana aku tahu!”
           Aku kaget, dia bisa menebaknya. “Apakah kau sedang mempelajari ilmu membaca fikiran?” tanyaku sambil masih berteriak.
          “Jangan konyol! Sekarang bisakah kau turun dan menghentikan acara berteriak pagi-pagi ini?” Aku sebal, “Bukankah kau yang memulai?”
           “Cepat turun!” teriaknya lagi.
          “Sekarang berangkatlah, aku sudah turun. Terima kasih makanannya,” ucapku dengan senyum lebar.
          “Aku tidak percaya aku diusir dari rumahku sendiri,” ucapnya sambil berpura-pura mengusap air mata. Beginilah jika ia sedang ‘kumat’.
            Aku mendorongnya keluar, “Semoga harimu menyenangkan!”
          Ratu adalah sepupuku. Kau tahu itu. Ia juga anak tunggal, sama sepertiku. Papanya adalah seorang pengusaha tekstil sukses dan Mamanya adalah pemilik butik terkenal. Rumah yang sekarang aku pijaki adalah rumah mereka dulu. Tidak terlalu besar dan sederhana. Mereka pindah ke rumah yang lebih besar. Tapi Ratu tidak mau ikut. Ia lebih nyaman disini. Biasanya, setiap akhir pekan orang tuanya datang kemari dan menginap.
           “Terakhir aku kesini, rumah ini sangat rapi. Tidak seperti sekarang,” aku termenung. ”Mungkin rumah ini butuh sedikit sentuhan.”
            “Selesai. Jauh lebih baik,” aku tersenyum puas. “Waktunya makan!”
            Saat aku beranjak ke dapur, aku melewati ruang tengah. Ada sebuah foto yang menggangguku. Foto Ratu dan orang tuanya. Mereka terlihat bahagia. Sangat bahagia. Tidak seperti keluargaku.
            “Ah, sial!” kuusap air mata yang mengalir tiba-tiba. “Kapan keluargaku bisa seperti keluargamu?”
            Kruyuk… kruyuk… kruyuk
        Ah, benar! Makan. Kutengok jam dinding, “Jam dua belas? Pantas perutku berbunyi minta diisi. "Perutku yang malang,” ucapku sambil mengelus perut.
            Setelah mandi sore, aku tertarik untuk membaca majalah yang ada diruang tamu. Majalah fashion! Favoritku! Tapi gaduh-gaduh diluar menggangguku. “Mungkin Ratu,” pikirku.“Masuk aja, gak dikunci!”
         “Ayo masuk Git,” sepertinya Ratu tidak sendiri. Aku bereskan majalah yang berserakan karena ulahku. Bagaimanapun aku tamu disini. Ratu membawa teman perempuan yang menurutku sangat cantik. Surai hitam panjangnya, mata coklatnya dan kulit putihnya. Dia cantik sekali!
            “Vira, kenalin ini temanku, Gita. Gita, ini sepupuku, Vira,” ucap Ratu memperkenalkan.
            “Senang berkenalan denganmu,” ujar Gita lembut.
            Aku tersenyum, “Aku juga.”
            Ratu menepuk pundakku dan Gita, “Aku mau buat minum dulu. Kalian ngobrol dulu ya. Bentar kok, gak lama.” Aku menggeleng, “Biar aku aja. Kamu kan capek baru pulang.”
            “Kamu kan tamu disini. Gak enak dong kalau kamu yang buat minum. Udah tunggu disini,” Ratu menekan kedua pundakku hingga aku terduduk.
       “Aku semalam kesini. Kok kamu gak ada? Baru datang tadi pagi ya?” tanya Gita membuka percakapan.
            “Enggak. Aku datang tengah malam. Hehehe,” ujarku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
            Gita kaget, “Tengah malam? Kok bisa?”
         “Kabur dari rumah,” ucapku pendek. Kulihat Gita lebih kaget lagi. Sikap lemah lembut dan tenang yang ia tunjukkan tadi hilang seketika. Aku tertawa dalam hati.
            “Kenapa?” suaranya meninggi. Sadetik kemudia ia sadar, “Maaf. Kau mau menceritakannya?”
            Cukup lama aku terdiam sambil berfikir. Bagaimanapun juga dia orang asing. Tak ada satupun orang yang menceritakan aibnya kepada orang yang tidak dikenal. Tapi aku butuh solusi. Mungkin saja yang kulakukan ini salah. Kabur, maksudku.
         “Uhm, gimana harus memulainya ya? Aku bingung. Intinya mereka selalu bertengkar saat mereka bertemu, mengorbankan benda-benda dirumah untuk mendukung kegiatan mereka itu,” aku berhenti untuk menarik nafas. “Bersikap tak ada apapun yang terjadi saat mereka melihatku. Mereka menyebalkan,” jelasku sambil mengerucutkan bibir dan melipat kedua tanganku didada.
           Kulihat Gita hanya tersenyum lembut sambil mengunyah kue kering dimulutnya. Anak ini menyebalkan juga. Yang menyuruhku cerita  tadi siapa?
         “Ah, maaf. Bukan maksudku membuatmu kesal,” ucap Gita saat melihat wajah kesalku. “Kalau mereka bertengkar, kenapa mereka tetap bersatu? Bercerai maksudku.”
            “Aku pernah mendengar salah satu dari mereka mengatakan itu karena mereka sayang kepadaku. Mereka bohong!”
            “Maaf sebelumnya, bagaimana jika orang tuamu bercerai?” tanyanya.
            “Lebih baik begitu daripada mereka terus bertengkar,” ucapku sarkastik.
            “Itu pilihanmu. Pikirkan lagi, orang tuamu sayang kepadamu,” ucapnya sambil tersenyum simpul.
            “Tapi mereka-”
            “Minuman datang! Maaf menunggu lama!” ucap Ratu tiba-tiba. Padahal seharusnya kami tahu saat Ratu datang. Mungkin kita terlalu serius. Ratu menyebalkan. Aku belum selesai bicara tadi.
         “Terima kasih Ratu aku boleh main kesini. Aku pulang dulu ya!” ujar Gita setelah menghabiskan minuman digelasnya.
            “Ah, tak perlu sungkan. Terima kasih Gita,” ucap Ratu sambil mengedipkan sebelah matanya. Ada yang aneh disini.
            “Sama-sama.” Gita pulang dengan mobil merah yang terparkir di depan rumah.
            “Kamu sengaja ya bawa temanmu itu kesini?” ucapku penuh selidik.
            “Enggak kok. Kebetulan tadi hujan di kampus, ku nebeng dia.”
          Aku berdiri dari sofa, “Gak usah bohong dia tadi bilang kalau dia main.” Aku langsung pergi ke kamar tamu. Tapi saat melewati ruang tengah, aku melihat foto itu lagi. Tanpa sadar aku menghampirinya dan air mataku mengalir lagi.
            Aku terkejut saat seseorang menyentuh pundakku, “Aku tahu yang kamu rasakan. Kamu harus kuat ya.” Ternyata Ratu. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa marah. Aku menepis tangannya dipundakku, “Kamu gak pernah ngerasain jadi aku. Gak usah sok tahu!”
         Dia tersenyum tapi air mata mengalir dari kedua sudut matanya, “Sebenarnya orang tuaku sudah bercerai. Tak lama setelah mereka pindah dari sini.”
            Aku tertegun, itu gak mungkin. Keluarga Ratu adalah salah satu keluarga paling bahagia yang pernah aku tahu. Tak mungkin momok itu mengganggu keluarganya. Aku tak percaya. “Ratu, kamu tak perlu berbohong supaya bisa menasehatiku,” ucapku ragu.
            “Kamu bilang aku bohong?!” suara Ratu meninggi. “Kamu kira aku mau orang tuaku bercerai? Aku tetap berusaha kuat didepan mereka. Tapi aku juga seorang anak biasa. Aku tidak bisa terus berpura-pura biasa saja. Broken home Vira, broken home!”
            “Tolong aku. Ajari aku supaya bisa kuat kayak kamu,” ucapku frustasi.
            Dia mengelus puncak kepalaku dan dia tersenyum saat aku menepisnya. Dia seharusnya tahu aku paling benci hal itu. Hanya orang tuaku yang boleh melakukannya!
            “Gampang, cukup kamu mengerti mereka. Kamu akan kuat dengan sendirinya”
            “Baiklah, aku akan mencobanya. Besok aku akan pulang,” ucapku sambil menunduk.
          Dia mengangkat kepalaku, “Tak perlu.” Dia tersenyum misterius lalu dia bergeser satu langkah ke kanan.
         Aku melihat orang tuaku! Mereka disana! Di depan pintu! Aku berlari kearah mereka sambil membuka tanganku lebar-lebar. Aku rindu mereka.
            “Maafin Vira. Vira nakal!” air mataku mengalir deras.
         Sekarang kehidupan seorang Vira tidak sama lagi. Aku memutuskan tinggal bersama Ratu. Aku senang saat orang tua kami datang mengunjungi kami dan menginap. Seperti menjadi keluarga yang utuh. Meskipun mereka sudah bercerai, aku tak menyesal keputusan mereka. Aku bahagia, mereka bahagia.

TAMAT